Konsep “Magnitude Gempabumi” sebagai skala kekuatan relatif hasil dari pengukuran fase amplitude dikemukakan pertama kali oleh K. Wadati dan C. Richter sekitar tahun 1930 (Lay. T and Wallace. T.C,1995).
Kekuatan gempabumi dinyatakan dengan besaran Magnitude dalam skala logaritma basis 10. Suatu harga Magnitude diperoleh sebagai hasil analisis tipe gelombang seismik tertentu (berupa rekaman getaran tanah yang tercatat paling besar) dengan memperhitungkan koreksi jarak stasiun pencatat ke episenter.
Dewasa ini terdapat empat jenis Magnitude yang umum digunakan (Lay. T and Wallace. T.C, 1995) yaitu : Magnitude lokal, Magnitude bodi, Magnitude permukaan dan Magnitude momen.
1.1. Magnitude Lokal (ML)
Magnitude lokal (ML) pertama kali diperkenalkan oleh Richter di awal tahun 1930-an dengan menggunakan data kejadian gempabumi di daerahCalifornia yang direkam oleh Seismograf Woods-Anderson. Menurutnya dengan mengetahui jarak episenter ke seismograf dan mengukur amplitude maksimum dari sinyal yang tercatat di seismograf maka dapat dilakukan pendekatan untuk mengetahui besarnya gempabumi yang terjadi. (USGS, 2002)
Magnitude lokal mempunyai rumus empiris sebagai berikut :
ML = log a + 3 log D - 2.92………………………………………(4.1-1)
Dengan a = amplitude getaran tanah (
mm),
D = jarak Stasiun pencatat ke sumber gempabumi (km) dengan
D 600 km.
Saat ini penggunaan ML sangat jarang karena pemakaian seismograf Woods-Anderson yang tidak umum. Selain itu penggunaan kejadian gempabumi yang terbatas pada wilayah California dalam menurunkan persamaan empiris membuat jenis magnitude ini paling tepat digunakan untuk daerah tersebut saja. Karena itu dikembangkan jenis magnitude yang lebih tepat untuk penggunaan yang lebih luas dan umum.
1.2. Magnitude Bodi (mb)
Terbatasnya penggunaan magnitude lokal untuk jarak tertentu membuat dikembangkannya tipe magnitude yang bisa digunakan secara luas. Salah satunya adalah mb atau magnitude bodi (Body-Wave Magnitude). Magnitude ini didefinisikan berdasarkan catatan amplitude dari gelombang P yang menjalar melalui bagian dalam bumi (Lay. T and Wallace.T.C. 1995). Secara umum dirumuskan dengan persamaan :
mb = log ( a / T ) + Q ( h,D )………………………….(4.1-2)
Dengan a = amplitudo getaran (mm), T = periode getaran (detik) dan Q ( h,D ) = koreksi jarak D dan kedalaman h yang didapatkan dari pendekatan empiris.
1.3. Magnitude Permukaan (Ms)
Selain Magnitude bodi dikembangkan pula Ms, Magnitude permukaan (Surface-wave Magnitude). Magnitude tipe ini didapatkan sebagai hasil pengukuran terhadap gelombang permukaan (surface waves). Untuk jarak D> 600 km seismogram periode panjang (long-period seismogram) dari gempabumi dangkal didominasi oleh gelombang permukaan. Gelombang ini biasanya mempunyai periode sekitar 20 detik. Amplitude gelombang permukaan sangat tergantung pada jarak D dan kedalaman sumber gempa h. Gempabumi dalam tidak menghasilkan gelombang permukaan, karena itu persamaan Ms tidak memerlukan koreksi kedalaman. Magnitude permukaan mempunyai bentuk rumus sbb:
Ms = log a + a log D + b……………………………(4.1-3)
Dengan a = amplitude maksimum dari pergeseran tanah horisontal pada periode 20 detik, D = Jarak (km), a dan b adalah koefisien dan konstanta yang didapatkan dengan pendekatan empiris. Persamaan ini digunakan hanya untuk gempa dengan kedalaman sekitar 60 km. Hubungan antara Ms dan mb dapat dinyatakan dalam persamaan :
mb = 2.5 + 0.63 Ms ………………………………..(4.1-4)
atau Ms = 1.59 mb – 3.97…………………………..……(4.1-5)
1.4. Magnitude Momen (Mw)
Kekuatan gempabumi sangat berkaitan dengan energi yang dilepaskan oleh sumbernya. Pelepasan energi ini berbentuk gelombang yang menjalar ke permukaan dan bagian dalam bumi. Dalam penjalarannya energi ini mengalami pelemahan karena absorbsi dari batuan yang dilaluinya, sehingga energi yang sampai ke stasiun pencatat kurang dapat menggambarkan energi gempabumi di hiposenter.
Berdasarkan Teori Elastik Rebound diperkenalkan istilah momen seismik (seismic moment). Momen seismik dapat diestimasi dari dimensi pergeseran bidang sesar atau dari analisis karakteristik gelombang gempabumi yang direkam di stasiun pencatat khususnya dengan seismograf periode bebas (broadband seismograph).
Mo = µ D A …………………………………………….(4.1-6)
Dengan Mo = momen seismik, µ = rigiditas, D = pergeseran rata-rata bidang sesar, A = area sesar.
Secara empiris hubungan antara momen seismik dan magnitude permukaan dapat dirumuskan sebagai berikut:
log Mo = 1.5 Ms + 16.1 …………………………………(4.1-7)
Ms = magnitude permukaan (Skala Richter) Kanamori (1997) dan Lay. T and Wallace. T. C, (1995) memperkenalkan Magnitude momen (moment magnitude) yaitu suatu tipe magnitude yang berkaitan dengan momen seismik namun tidak bergantung dari besarnya magnitude permukaan :
Mw = ( log Mo / 1.5 ) – 10.73 …………………………..(4.1-8)
Dengan Mw = magnitude momen, Mo = momen seismik.
Meskipun dapat menyatakan jumlah energi yang dilepaskan di sumber gempabumi dengan lebih akurat, namun pengukuran magnitude momen lebih komplek dibandingkan pengukuran magnitude ML, Ms dan mb. Karena itu penggunaannya juga lebih sedikit dibandingkan penggunaan ketiga magnitude lainnya (Lay. T and Wallace. T. C, 1995).
1.5. Magnitude Yang Digunakan BMG
Menurut Tajib. S, (1986) pengamatan gempabumi di Indonesia berawal pada tahun 1898 saat pemerintah Hindia Belanda mengoperasikan seismograf mekanik Ewing di Jakarta. Kemudian tahun 1908 dipasang seismograf Wiechert komponen horizontal, yang pada tahun 1928 dilengkapi dengan seismograf Wiechert komponen vertical. Pemasangan kedua jenis seismograf tersebut dilakukan di beberapa kota yaitu Jakarta, Medan, Bengkulu dan Ambon.
Dengan adanya seismograf telah dilakukan pemantauan gempabumi meskipun dengan tingkat keakuratan rendah jika dibandingkan saat ini. Pada masa pendudukan Jepang beberapa seismograf yang rusak akibat peperangan mengalami perbaikan sehingga dapat beroperasi kembali.
Pada tahun 1953 seismograf elektromagnetik Sprengnether dipasang di Lembang, yang disusul dengan pemasangan seismograf yang sama di Medan, Tangerang, Denpasar, Makasar, Kupang, Jayapura, Manado dan Ambon, sehingga pada tahun 1975 Indonesia memiliki jaringan seismograf Sprengnether tiga komponen. Bersamaan dengan hal itu, sekitar tahun 1960 seismologi dan teknologi mengalami perkembangan yang besar disertai dengan beroperasinya stasiun WWSSN (World Wide Standard Seismograph Net work) di seluruh dunia salah satunya dipasang di Lembang tahun 1963, sehingga kelengkapan dan keakuratan penghitungan parameter gempabumi meningkat pesat.
Perkembangan ini tentu saja mempengaruhi kelengkapan data gempabumi merusak. Jika sebelum tahun 1960 catatan yang ada hanya memberikan informasi mengenai waktu gempabumi dirasakan di suatu tempat dan Intensitasnya di tempat tersebut, maka pada catatan kejadian gempabumi tahun-tahun berikutnya menjadi lebih lengkap dengan adanya keterangan mengenai lokasi episenter, kedalaman dan Magnitude. Magnitude yang digunakan adalah jenis Magnitude bodi (mb).
Pada tahun 1975-1979 UNESCO mengadakan proyek pengembangan seismologi di Indonesia yang antara lain meliputi standarisasi seismograf dan proses pengolahan data gempabumi, serta pengembangan jaringan pemantau. Sejak tahun 1975 jenis magnitude yang digunakan adalah Magnitude Lokal (ML). ML ditentukan berdasarkan pembacaan jarak episenter, sinyal dan magnifikasi alat.
Mulai Februari 1996 dalam proses penentuan parameter gempabumi, Pusat Gempa Nasional (PGN)-BMG menggunakan perangkat lunak ARTDAS (Automatic Real Time Data Acquisition System) yang dioperasikan dengan perangkat keras SUN Work station. Sejak saat itu PGN-BMG menggunakan tiga macam magnitude untuk menyatakan kekuatan gempabumi secara instrumental. Ketiga magnitude tersebut adalah Magnitude Lokal (ML), Magnitude bodi (mb) dan Magnitude durasi (MD).
1.6. Magnitude Durasi (MD)
Menurut Lee dan Stewart, (1981) sejak tahun 1972, studi mengenai kekuatan gempabumi dikembangkan pada penggunaan durasi sinyal gempabumi untuk menghitung magnitude bagi kejadian gempa lokal, diantaranya oleh Hori (1973), Real dan Teng (1973), Herrman (1975), Bakum dan Lindh (1977), Gricom dan Arabasz (1979), Johnson (1979) dan Suteau dan Whitcomb (1979). Maka diperkenalkan Magnitude Durasi (Duration Magnitude) yang merupakan fungsi dari total durasi sinyal seismik. (Massinon, B, 1986). Magnitudo Durasi (MD) untuk suatu stasiun pengamat persamaannya adalah :
MD = a1 + a2 log t + a3D + a4 h…………………….(4.1-8)
Dengan MD = magnitudo durasi, t = durasi sinyal (detik), D = jarak episenter (km), h = kedalaman hiposenter (km) dan a1,a2,a3, dan a4 adalah konstante empiris.
Magnitude durasi sangat berguna dalam kasus sinyal yang sangat besar amplitudenya (off-scale) yang mengaburkan jangkauan dinamis sistem pencatat sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan pembacaan apabila dilakukan estimasi menggunakan ML (Massinon. B, 1986).
(sumber : buku pengetahuan seismologi SuBardjo and Gunawan Ibrahim - BMKG)